Berjuta orang didunia ini mengisi hari – hari mereka dengan bermacam cara. Kesemuanya adalah pilihan hidup. Baik atau buruknya. Maka tidak ada yang benar- benar keterpaksaan pada keseluruhan kehidupan mereka itu. Apalagi pada prilaku-prilaku jahat dan buruk yang mereka lakukan.
Tetapi kekeliruan terbesar dari segala pilihan hidup yang keliru itu, adalah keengganan keluar dari dari kekeliruan itu dengan dalih segalanya telah terlanjur. Dengan alasan bahawa sudah kepalang basah.
Alangkah banyak orang mengambil jalan pintas dalam hidupnya. Menapaki garis hidup yang tidak mbermartabat. Untuk dan dalam waktu yang tidak sebentar. Lalu sesudah itu ia dengan mudah berdalih bahwa segalanya telah terlanjur. Keterlanjuran benar-benar menemukan nasib tragisnya sebagai kambing hitam. Seakan-akan keterlanjuran adalah makhluk aneh yang datang dari negeri antah berantah, lalu membuat orang tidak berdaya untuk meninggalkan pilihan-pilihan hidup yang tidak beradab.
Padahal keterlanjuran hanyalah dimensi waktu bagi sebuah tindakan, peristiwa, dan juga pilihan-pilihan perilaku manusia. Ia tidak memberi makna pemaksaan, bahkan tidak juga makna ketidakberdayaan. Keterlanjuran dalam konteks orang-orang yang tidak mau keluar dari jalan yang salah, sesungguhnya hanya pengulangan secara sadar dan terus- menerus atas tindakan –tindakan yang salah tersebut.
Setiap kesalahan apalagi kejahatan, selalu menyimpan pesona anehnya. Pesona nafsu, kenikmatan, prestise, arogansi, kepuasan materiil, yang semuanya mungkin dapat diperoleh dengan cara-cara yang sangat mudah, ringan, dan nyaris tanpa modal. Disinilah sesungguhnya masalah utamanya.
Bahka dosa-dosa itu sendiri punya pesonanya yang sangat memukau. Ini lebih dari sekedar pembuktian dari sabda Rasulullah, bahwa nereka itu dikelilingi dengan hal-hal yang mengundang syahwat. Tapi memang pesona-pesona itu benar-benar seperti candu. Ia memuaskan sisi kecil kemanusiaan manusia, tapi menghancurkan sebahagian besar dan bahkan keseluruhan kemanusian. “Pesona neraka” itu bila telah menjerat nafsu manusia, tidak mudah bagi manusia untuk keluar, kecuali yang benar-benar mau menjauhinya.
Keterlanjuran yang dipakai sebagai dalil sebuah perbuatan buruk, dari waktu ke waktu akan digantikan oleh menyatunya keburukan itu dalam kepribadian, sikap, dan bahkan watak. Bila itu terjadi, maka tidak penting lagi apakah seseorang terlanjur atau tidak. Sebab yang ada bahwa perilaku buruk itu sendiri telah menjadi kebutuhan psikologisnya. Ia akan terguncang dan gelisah kalau tidak melakukan keburukan itu.
Ini adalah fase tersulit bagi jiwa seorang manusia. Seperti dijelaskan bagi Raulullah, ini adalah fase dimana keburukan dan kejahatan telah menghitamkan hatinya. Setelah satu demi satu keburukan itu membekaskan titik hitam. Lalu dengan dalih keterlanjuran, titik-titik hitam itu semakin banyak, seiring kian banyaknya pula keburukan berikutnya. Tak ada cahaya iman yang bisa menembus penutup hitam itu.
Maka, marilah kita mengaca sejenak. Pada jalan hidup yang mana kita menapak. Setiap kita punya hari-hari kemarin. Hitam atau putinya. Jelek atau baiknya. Yang penting ialah bagaimana hari-hari ini bukan “keterlajuran” di jalan keburukan yang kita sengaja, sebesar apapun keburukan itu.
Agar tetap hidup, kita memang harus bertahan. Tetapi untuk bertahan itu sendiri perlu perjuangan, bahkan pertarungan. Bertarung dengan ganasnya kehidupan, dengan persaingan, juga kesulitan-kesulitan yang tak bersahabat. Dan, tentu saja, bertarung melawan paradigma keterlanjuran yang keliru dan sering menyesatkan itu.Sumber : TARBAWI edisi 66/ 21 Agustus 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar