Label

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Sabtu, 13 April 2013

INSPIRASI KEHIDUPAN : Kisah Tasripin, Bocah 12 Tahun yang Harus Menghidupi Ketiga Adiknya


Sabtu, 13/04/2013 06:06 WIB
Arbi Anugrah - detikNews
Tasripin (kiri) bersama ketiga adiknya (Foto: Arbi/detikcom) 
 
Jakarta - Jauh di sebuah Dusun di Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, Tasripin (12) bocah tanggung dari Dusun Pesawahan harus hidup sendiri dan mencari nafkah untuk menghidupi ketiga adiknya Dandi (9) Riyanti (7) dan Daryo (5). Tasripin harus bekerja di sawah agar adik-adiknya tetap bisa makan.

Di rumah bilik kayu dengan luas 5x7 meter persegi dengan satu ruang kamar luas 3x3 meter persegi dan sebuah dapur dengan tungku kayu bakar serta isi perabotan yang sangat sederhana dan hanya terdapat dua buah kursi panjang dan satu meja, beralaskan lantai semen yang sudah pecah, hidup empat bocah sebatang kara. Ayah mereka pergi bekerja di Kalimantan bersama kakak tertuanya, sementara ibunya meninggal akibat tertimbun longsor saat sedang mencari pasir satu tahun lalu.

Kini bocah-bocah tersebut harus hidup sebatang kara dan tidur dalam satu kamar dengan kasur dan bantal yang sudah tampak lusuh dengan ditutupi matras. Ketiga adiknya sangat mengandalkan kakak kedua mereka, Tasripin, yang setiap hari harus bekerja di sawah dengan mencangkul, membersihkan sisa-sisa padi serta menanam padi bersama warga desa pada saat masa tanam.

"Ibu sudah meninggal dan bapak bekerja di Kalimantan bersama kakak," kata Tasripin, Jumat (12/4/2013).

Hampir setiap hari, Tasripin mesti pergi ke sawah untuk mencari uang demi menghidupi ketiga adiknya. Para tetangga sekitar yang simpati dengan keadaan Tasripin pun kadang sering membantu menberikan nasi maupun lauk pauk bagi bocah-bocah tersebut. Tak jarang mereka hanya makan dengan nasi seadanya namun tampak nikmat.

"Kalau berangkat ke sawah jam 7 pagi dan pulang jam 12 siang. Kadang sehari dapet Rp. 30 - 40 ribu sehari. Itu beli beras dan sayur. Sisanya untuk jajan adik," jelas bocah yang telah putus sekolah itu.

Pagi sebelum dia berangkat ke sawah, Tasripin harus memasak nasi dan sayur untuk adik-adiknya. Selain memasak, dia juga harus mencuci pakaian, menyapu serta memandikan adik-adiknya. Tapi bukan hanya sekedar memandikan dan memberikan makan untuk adik-adiknya, dia pun bertanggung jawab terhadap akhlak adik-adiknya dengan mengajak adik-adiknya salat dan mengaji di musala depan rumahnya.

Tanggung jawab yang besar membuat dia harus bekerja keras, tidak jarang jika tidak mendapatkan pekerjaan, dia harus mengutang beras di warung. "Kalau tidak ada uang suka utang di warung, bayarnya nanti kalau bapak pulang," katanya.

Saat ini Tasripin harus berhenti bersekolah, karena menunggak biaya SPP, sementara kedua adiknya Dandi dan Riyanti pun tidak melanjutkan sekolah karena malu sering diejek oleh teman-temannya. Hanya Daryo, adik terakhirnya yang masih bersekolah di PAUD di dusun tersebut.

"Sudah tidak sekolah SD, hanya satu adik saya yang sekolah di Paud, Kadang saya yang biayain, kadang menunggu kiriman dari bapak," ujarnya polos.

Dulu saat sekolah dia harus menempuh jarak sekitar 3 kilometer untuk mencapai tempat sekolahnya, jalan berbatu dan perbukitan serta hutan harus dilalui dia setiap harinya. Maklum, Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok berada di lereng kaki Gunung Slamet demgan jumlah penduduk 319 Jiwa dengan 187 rumah.


(trq/trq) SUMBER : http://news.detik.com/read/2013/04/13/060333/2219273/10/kisah-tasripin-bocah-12-tahun-yang-harus-menghidupi-ketiga-adiknya

INSPIRASI KEHIDUPAN : Kisah tukang sapu, belajar hidup dari daun dan uang Rp 35 ribu

Reporter : Arbi Sumandoyo
Minggu, 24 Maret 2013 07:33:51
Kisah tukang sapu, belajar hidup dari daun dan uang Rp 35 ribu
Kategori Peristiwa

Sadiyah. Arbi Sumandoyo ©2013 Merdeka.com
314
 


Sore kemarin cuaca di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan nampak terlihat mendung dan akan segera turun hujan. Dengan bergegas, seorang wanita paruh baya berpakaian orange segera menuntaskan pekerjaannya membersihkan sampah daun dengan menggunakan sapu lidi dan pengki untuk dimasukkan ke dalam karung.

Sedikit terburu-buru, ia menuntaskan pekerjaannya karena tetes air petanda hujan perlahan mulai jatuh tepat di atas kepalanya. Bergegas ia pun menenteng karung, pengki dan sapu kemudian berlindung menuju sebuah halte dari rintikan hujan yang deras secara tiba-tiba.

Sadiyah (48) nama wanita itu, dia adalah pekerja kontrak Dinas Kebersihan Jakarta Selatan yang memang ditugasi untuk membersihkan sampah sekaligus menyapu jalan di seputar Jalan Raya Ragunan, mulai dari perempatan Jati Padang hingga Balai pertanian dekat Polsek Pasar Minggu.

Terik matahari dan guyuran hujan tidak membuat Sadiyah (48) patah arang untuk mengais rezeki menghidupi anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama dan membantu memutar roda perekenomian keluarga.

"Saya sudah dua tahun bekerja jadi tukang sapu, awalnya di rumah tapi saya berniat membantu suami saya," kata Sadiyah saat ditemui di halte depan SMA Negeri 28, Jakarta Selatan, Sabtu (23/3).

Pengalaman hidup begitu berarti untuk ibu dari 5 anak itu. Sadiyah menuturkan, pekerjaan yang ia lakoni memang baru sekitar 2 tahun ia jalani. Dahulu, Sadiyah hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Namun, berkat bantuan sang suami Mazar (53) yang juga bekerja sebagai tukang sapu, Sadiyah kemudian melamar pekerjaan sebagai tukang sapu untuk membantu perekonomian keluarga serta membiayai anaknya yang masih sekolah.

Kebetulan saat itu, perusahaan tenaga kerja tempat ia bernaung saat ini membutuhkan tukang sapu untuk membersihkan sepanjang Jalan Raya Ragunan yang bersedia bekerja sejak pukul 13.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB membersihkan sampah daun atau sampah non organik yang berserakan di pinggir jalan atau sengaja dibuang orang yang tidak bertanggung jawab.

"Awalnya saya di rumah, saya coba melamar berkat bantuan suami saya kerja hingga saat ini. Waktu itu memang perusahaan butuh pegawai yang bisa masuk siang," ujarnya.

Daun, sampah plastik, kuman dan kotor merupakan sahabat Sadiyah setiap hari. Sadiyah mengatakan, bahwa ia bersyukur menjalani pekerjaan seperti saat ini. Meski pendapatannya boleh dibilang kecil dibanding dengan tenaga yang ia keluarkan, namun Sadiyah tetap iklas menjalani prosesi hidup sebagai tukang sapu.

Sebulan jika Sadiyah masuk setiap hari, gaji yang ia terima sebesar Rp 1.050.000 perhari gaji Sadiyah dibayar Rp 35 ribu tanpa uang makan atau uang lembur. Jika tidak masuk, uang tersebut akan dipotong dengan jumlah hari absen dirinya tidak bekerja. Meski begitu, ada saja orang yang dengan ikhlas memberikan bantuan kepadanya saat ia sedang menyapu jalanan.

"Ya alhamdulilah ada aja, untuk suka duka paling kalau lagi nyapu ada orang titip sampah," ucapnya.

Meski hidup begitu keras, namun Sadiyah coba menjalani dengan sabar dan ikhlas. Dia mengatakan, meski harus menyapu sampah dedaunan pohon yang ada dipinggir jalan, menurutnya itu adalah rezeki. Tuhan menjatuhkan daun ke jalan dan disapu untuk mendapatkan sekadar rupiah penyambung hidup.

Sore menjelang, Sadiyah dengan sesegera mungkin menuntaskan pekerjaannya. Tak lupa, kawan setia sapu lidi dan pengki yang terbuat dari kaleng biskuit serta karung ia titipkan di Taman dekat dia bekerja sehari-hari. Taman tersebut merupakan kantor alam untuk Sadiyah beristirahat maupun mengisi tenaganya dengan butiran nasi.

"Kalau dibilang kurang, manusia pasti akan kurang terus, ya kita cukup-cukupi," ujarnya.

Usai bekerja, Sadiyah tidak lupa untuk beristirahat untuk pagi esok mengurusi keluarga menggantikan suaminya Mazar yang bekerja pagi hari. Menjelang siang hari sekitar pukul 12.30 WIB, Sadiyah kembali bergulat dengan sampah.
SUMBER: 
http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-tukang-sapu-belajar-hidup-dari-daun-dan-uang-rp-35-ribu.html